Category Archives: Geology

Mengenal Kompleks Mutis dan Kompleks Bobonaro di (Fatuleu) Timor

Geologi & Sejarah terbentuknya Pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur.

Geologi di Nusa Tenggara Timur, seperti geologi daerah Indonesia Timur pada umumnya, sangat dikenal dengan kompleksitasnya. Tubrukan antara Lempeng Australia dan Eurasia (dan Pasifik) di pertengahan Era Cenozoic telah mengakibatkan pembentukan suatu busur di Indonesia Timur, yang terkenal dengan sebutan Banda Arc (Busur Banda). Busur tersebut dibagi menjadi dua, yakni; busur dalam bersifat vulkanis (Inner Banda Arc), dan busur luar bersifat non-vulkanis (Outer Banda Arc) (Gambar 1&2).

Gambar 1

Gambar 1. Banda Arc (Busur Banda). (Dari: wikipedia.org/wiki/Banda_Arc)

 

Gambar 2

Gambar 2. Cross section dari Banda Arc (Busur Banda). (Dari: wikipedia.org/wiki/Banda_Arc)

Yang dimaksud dengan Busur Banda adalah sederetan pulau yang membentuk sebuah busur (180 derajat) di daerah Indonesia timur, dengan total panjang sekitar/lebih dari 1,000 km (Gambar 3). Deretan pulau ini ada yang bersifat vulkanis (memiliki gunung api aktif), dan ada yang bersifat non vulkanis (tidak ada gunung api aktif). Yang tergolong dalam Busur Banda vulkanis (dalam) adalah Pulau Flores (mulai dari ujung Pulau Komodo, Manggarai Barat), Pulau Lembata, Pulau Alor, Pulau Wetar (Provinsi Maluku), melengkung dan naik ke bagian selatan Pulau Seram dan Pulau Buru (Provinsi Maluku). Dapat dilihat dalam arsiran warna merah pada Gambar 1. Sedangkan yang tergolong sebagai Busur Banda non-vulkanis (luar) adalah pulau Sabu, Rote, Timor, naik dan melengkung ke kepulauan Tanimbar dan kepulauan Kei (Provinsi Maluku), naik sampai ke Pulau Seram dan Buru (Provinsi Maluku), dapat dilihat dalam arsiran warna hijau, kuning dan biru pada Gambar 1. Di tengah busur dalam dan busur luar tersebut, terletak sebuah cekungan (basin) yang ditemukan patahan/sesar terbesar di dunia, dikenal dengan Banda Detachment Fault (Patahan Detasemen Banda). Sesar besar ini berposisi di Cekungan Weber (Weber Basin/Weber Deep), tepatnya di bagian barat kepulauan Kei, yang nampaknya sebagai sebuah palung besar dengan kedalaman 7.2 km dan luas 60,000 meter persegi. Patahan besar ini dapat mengakibatkan gempa yang sangat besar (dan berpotensi tsunami) jikalau suatu saat nanti tergelincir.

Gambar 3

Gambar 3. Banda Arc (Busur Banda) dilihat dari Google Earth, mulai dari Flores ke Buru. Anak panah abu-abu mengindikasikan arah pergerakan lempeng Australia.

Secara terpisah, geologi pulau Sumba memiliki keunikannya sendiri. Pulau ini memiliki beberapa teori mengenai cara terbentuknya; (1) berasal/bagian (mikro-kontinen) dari Kontinen Australia yang bergeser ke arah utara, (2) berasal/bagian (mikro-kontinen) dari Sundaland (Sumatra, Jawa, Kalimantan) yang bergeser ke arah selatan, (3) merupakan mikro-kontinen atau kepingan yang lebih besar di dalam Samudera Tethys yang terpecah, atau (4) bagian dari Timor yang terlepas saat terbentuknya laut Sabu. Teori kedua relatif lebih sering diterima sebab terdapat kesamaan platform di Sumba yang dapat dikorelasikan dengan platform di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tenggara.

 Jadi, pulau-pulau di busur banda dalam, seperti Flores, Lembata, Alor, secara general terbentuk akibat aktivitas vulkanik, hasil peleburan lempeng yang menunjam ke dalam bumi yang “panas” dan mengakibatkan lava naik ke permukaan serta membentuk gunung api (Gambar 2). Itu sebabnya Flores dan sekitarnya di dominasi oleh batuan-batuan vulkanik, dan berumur relatif lebih muda dibandingkan Pulau Timor dan Sumba (dan Sabu-Rote?). Walaupun bisa tergolong pulau yang “tua”, Timor baru mengalami pengangkatan dan berbentuk seperti sekarang ini pada umur yang relatif lebih muda lagi. Pengangkatan akan terus berlanjut sebab kontinen Australia masih bergerak dengan konsisten ke arah utara (suatu saat nanti pulau Timor mungkin bisa bertemu dengan Australia!). Aktifitas vulkanisme (gunung api) juga hanya terdapat di deretan pulau-pulau banda dalam, sebab penunjaman lempeng Australia belum “cukup dalam dan panas” untuk melebur dan membentuk gunung api di deretan pulau Timor (lihat gambar 2).

Geologi dan Sejarah Terbentuknya Pulau Timor

Ada banyak model yang diajukan untuk menjelaskan keterbentukan pulau Timor (Gambar 4). Secara umum, pulau Timor terbentuk akibat tubrukan dua setingan tektonik, yakni; Busur Banda / Banda Arc (Alokton), dengan Paparan Baratdaya Australia / NW Australian Shelf (Para-autokton). Tubrukan ini diyakini telah mengakibatkan deformasi yang signifikan di Timor. Batuan yang terendapkan pada saat dan setelah benturan antara 2 setingan tektonik ini (Syn and Post Orogenic) disebut sebagai Autokton, dimana batuannya berumur Miosen Akhir – Plistosen.

Untuk menjelaskannya secara sederhana; coba bayangkan sebuah kapal yang besar sekali melaju dengan kecepatan yang tinggi, lalu bertabrakan dengan kapal besar lainnya yang bergerak lawan arah dengan kecepatan yang relatif lebih rendah, sehingga bagian depan kapal tersebut hancur dan menghasilkan kepingan-kepingan yang banyak berserakan.  Demikian pula pulau Timor terbentuk akibat pergerakan lempeng Australia yang melaju ke arah utara dengan kecepatan ±7 cm per tahun, dan bertabrakan dengan Busur Banda yang bergerak relatif ke arah selatan-timur sejalan dengan Sundaland. “Kolusi” (tabrakan) tersebut mengakibatkan batuan dari kedua lempeng tersebut “berserakan” di sekitaran pulau Timor (lihat ilustrasinya di gambar 5).

Jadi secara general, batuan yang kita temukan di Timor merupakan campuran batuan “tua” yang berasal dari kontinen Australia, dengan batuan yang berasal dari busur Banda. Kita juga akan temukan batuan “muda” yang terbentuk/terendapkan saat/setelah tumbrukan tersebut terjadi, disebut dengan istilah: syn (sedang/sementara) and post (setelah) orogenic deposition.

Gambar 4

Gambar 4. Beberapa model/teori pembentukan pulau Timor. (Lelono et al. 2006).

Gambar 5

Gambar 5. Proses tumbrukan yang membentuk pulau Timor. Dianalogikan menggunakan sandbox model (kiri). Anak panah merah menunjukan arah pergerakan lempeng Australia (Dimodifikasi dari Harris, 2006)

Batuan pecahan hasil tumbrukan antara kedua lempeng tersebut cukup mendominasi Pulau Timor. Ada dua jenis formasi batuan yang kompleksitas nya cukup terkenal di Timor dan akan dibahas khusus disini, yakni Kompleks Mutis dan Kompleks Bobonaro.

 

Batuan Kompleks di Timor – Mutis (Metamorphic)

Kompleks Mutis mendapatkan namanya dari Gunung Mutis (Nuaf Mutis), gunung tertinggi di Timor Barat (gunung tertinggi di Timor terletak di Timor Leste – Gunung Tatamailai/Ramelau). Kompleks Mutis dapat disamakan dengan Kompleks Lolotoi di Timor Leste, dengan adanya bukti yang kuat bahwa kedua satuan batuan tersebut sama-sama berasal dari batuan dasar (basement) Busur Banda (alokton), namun penelitian-penelitian sebelumnya mengasumsikan bahwa batuan metamorf di Timor Leste tersebut merepresentasikan batuan dasar (basement) kontinen Australia (Para-autokton) dari umur pra-permian.

Kompleks Mutis terdiri atas batuan malihan (metamorf), dimana secara general disusun oleh  batusabak, filit, sekis, amfibolit, sekis amfibolit, kuarsit, gneis amfibolit dan granulit. Umur kompleks Mutis juga sering menjadi subjek kontroversi. Sebelumnya diduga berumur pra-permian, sebab terdapat endapan Kompleks Palelo (Group) diatasnya secara tidak selaras yang berumur Cretaceous Akhir – Miosen Awal. Umur Kompleks Mutis sebenarnya berkisar Jurassic Akhir hingga Cretaceous Awal, atau Cretaceous awal hingga Eocene, dimana kejadian proses metamorfosis sudah terjadi sebelum era Cenozoic dan berlangsung hingga Eocene, baru batuan-batuan tersebut tersingkap. Setelah Eocene, tidak ada bukti bahwa ada proses metamorfosis lagi di paparan Banda.

Jika dihubungkan, Kompleks Mutis ini (yang terdiri atas batuan malihan) dapat membentuk suatu sabuk metamorfik (metamorphic belt), berawal dari Timor Barat, sampai Pulu Dai dan kepulauan Tanimbar – Maluku (lihat gambar 6). Sabuk metamorfik ini juga sering terdapat beberapa indikasi keberadaan mineral logam berharga (seperti emas, tembaga, dll). Walaupun masih sangat minim penelitian tentang keberadaan potensi ini, namun ada beberapa bukti / indikator-indikator yang kita ketahui berupa: bekas tambang tembaga/emas Belanda di Desa Tanini (berupa terowongan sepanjang ±12m), penambangan emas endapan placer di Noel Noni, Fatuleu (Kab. Kupang) dan di Noel Toko, Haulasi (TTU), eksplorasi tembaga di Oekusi (Timor Leste), potensi endapan emas di bagian utara Timor Leste, dan mungkin terdapat pula beberapa indikasi pada Pulau Leti, Moa, Kisar (?), dan Sermata (note: tidak termasuk Wetar). Semua indikator ini berada pada bagian utara Pulau Timor, sepanjang sabuk metamorfik tersebut.

Gambar 6

Gambar 6. Sebaran batuan metamorfik kompleks dan relasinya dengan daerah lain di Banda luar. (Kaneko et al., 2007)

 

Batuan Kompleks di Timor – Bobonaro (Sedimentary)

Kompleks Bobonaro merupakan salah satu batuan/endapan yang sangat mendominasi permukaan Timor (sekitar 40% dari keseluruhan Timor). Kompleks Bobonaro mendapatkan namanya dari sebuah kota kecil (subdistrik) yang terletak di bagian barat Timor Leste (arah tenggara dari Maliana – Distrik Bobonaro), sehingga jenis batuan/endapan yang berada disana menjadi acuan penamaan batuan dengan karakteristik yang sama di seluruh Pulau Timor. Formasi kompleks ini berumur Akhir Miosen- PlioPlistosen (?), dan asal usul pembentukannya masih menjadi perdebatan yang “panas” hingga saat ini. Berikut merupakan teori-teori mengenai asal usul/proses pembentukan batuan/endapan ini, dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Akibat melange (reruntuhan/pecahan akibat tumbrukan antara lempeng).
  2. Akibat Olistostrome (suatu longsoran bawah permukaan laut yang besar)
  3. Akibat Mud diapir / mud volcano (semburan lumpur).
  4. Kombinasi daripada teori-teori tersebut (?)

Secara general Kompleks Bobonaro terdiri atas lempung bersisik dan fragmen-fragmen asing dari batuan yang lebih tua. Fragmen-fragmen ini bervariasi ukurannya, mulai dari yang kecil, berukuran lanau (silt sized), hingga blok-blok (boulders) besar, berukuran ±1 km. Lempung ini bertindak sebagai matriks yang terendapkan bersamaan dengan fragmen-fragmen asing tersebut.

Lempung Bobonaro ini cukup terkenal di kalangan para geologis yang pernah berkerja di Timor, dan lempung inilah yang kemungkinan menjadi penyebab terbesar untuk (a) bencana seperti banjir dan longsor, (b) ketidakstabilan pada fondasi konstruksi pekerjaan sipil, karena sifatnya yang mobile dan kembang-susut yang tinggi, serta (c) kekeringan oleh karena sifat nya yang kedap air (impermeable). Kejadian-kejadian diatas sering terjadi pada kompleks (lempung) Bobonaro di sekitaran Kota dan Kabupaten Kupang.

Gambar 7

Gambar 7. Komplek Bobonaro, yang terdiri atas fragmen-fragmen dengan berbagai ukuran (ditunjuk dengan anak panah merah) diantara lempung bersisik dengan warna yang bervariasi.

Pulau Timor secara general dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian blok utara (Fatuleu, Amfoang, Mutis, Oekusi, Atambua, Aileu – Dili, Bacau) dan blok selatan (Kupang, Amarasi, Soe, Betun, Suai, Viqueque). Secara umum, blok utara adalah daerah yang cocok untuk dikunjungi jika ingin menyelidiki daerah-daerah kompleks metamorfik (Mutis dengan satuan ekuivalen lainnya), dan blok selatan sangat cocok jikalau ingin melihat/menyelidiki kompleks Bobonaro (dan satuan syn-post orogenic lainnya).

 

Explore Fatuleu

Pada musim panas tahun 2019, saya bersama adik-adik Hammer ’17 (Mahasiswa Teknik Pertambangan, Universitas Nusa Cendana Kupang) melakukan geotrip singkat ke “perbatasan” antara Komplek Mutis dan Komplek Bobonaro di Fatuleu. Komplek Mutis yang berada di Fatuleu ini dikenal dengan nama Lalan Asu yang memiliki fasies greenschist-amfibolit, dan secara administratif berada pada perbatasan Desa Nunbaun-Fatuleu Tengah dengan Desa Kiuoni-Fatuleu. Dua blok kompleks metamorfik (Mutis) yang terkenal lainnya juga berada di dekat daerah ini, yakni Blok Booi di baratlaut (perbatasan Desa Tanini dengan Desa Fatusuki/Bimela) dan Blok Tafte di baratdaya (Desa Bipolo – Sulamu). Di tengah blok Lalan Asu terdapat Noel Noni (artinya: sungai emas) dimana masyarakat setempat mendulang emas secara tradisional. Sungai ini bercabangan dengan Noel Niti (Taemaman-Tanini) di bagian hilir, dan bermuara di daerah Amfoang Baratdaya. Daerah-daerah disini masih tergolong terpencil, namun memiliki alam dan budaya yang sangat menarik dan unik untuk dipelajari.

Gambar 9

Gambar 8. Foto Udara Lalan Asu (Metamorphic Complex) di Fatuleu.

Gambar 10

Gambar 9. Perbatasan/kontak antara Komplek Mutis dengan Komplek Bobonaro (kanan, tidak kelihatan). Komplek metamorfik disini berupa perbukitan yang tinggi dan memiliki fasies greenschist-amfibolit.

Gambar 11

Gambar 10. Hammer ’17 di depan tebing metamorfik (Mutis) kompleks.

 

Budaya dan Potensi di Fatuleu

Keadaan biota di Fatuleu secara general mirip dengan daerah-daerah lain di Timor Barat. Masyarakat yang bertempat tinggal di Fatuleu secara dominan dapat ditarik genealoginya ke daerah Mutis-Mollo, dimana dipercayai asal mula peradaban (dan kehidupan) di Timor muncul. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Timor Dawan dan Bahasa Indonesia, dan motif tenunan, budaya, adat-istiadat, dan kepercayaan lainnya mirip dengan daerah-daerah Amfoang dan Mollo – Mutis (juga sebagian di Sulamu dan Kupang). Mayoritas pekerjaan pokok orang-orang disana adalah bertani (padi, jagung, dll) dan berternak (sapi, babi, ayam, dll) serta mendulang emas dan usaha kecil-kecil lainnya sebagai mata pencaharian tambahan.

Fatuleu punya banyak tempat yang berpotensi untuk dijadikan tempat wisata. Salah satu yang paling terkenal adalah Gunung Fatuleu (Cablac Limestone, Trias Akhir – Awal Miosen?) yang telah dikembangkan oleh Pemda setempat dan menjadi populer sejak akhir tahun 2014. Selain itu daerah ini juga dapat dikembangkan menjadi daerah geowisata dan/atau research, terlebih dalam hal sejarahnya serta relasi terhadap pembentukan pulau Timor, serta potensi keterdapatan mineral logam yang terkandung di dalamnya.

Kesimpulan & refleksi sejarah penyelidikan Geologi di Timor

Penelitian mengenai geologi di Timor sudah lama dilakukan sejak zaman Belanda. Ada banyak ekspedisi yang dilakukan scientist Belanda (dan Inggris, cth: Alfred Russel Wallace) pada abad ke-18 hingga akhir abad ke-19, namun kemungkinan semuanya hanya untuk kepentingan tambang dan eksploitasi sumberdaya alam, serta science and culture studies secara umum. Penelitian geologi pertama di Timor dilakukan oleh G. A. Molengraaff (dosen nya Van Bemmelin, tokoh geologi terkenal di Indonesia) di tahun 1910-1911, dan dilanjutkan dalam ekspedisi geologi pada sekitar tahun 1934 yang di pimpin oleh Prof. H.A. Brouwer (muridnya Molengraaff, dosennya Van Bemmelin juga) dari University of Amsterdam, yang juga mengikut sertakan beberapa mahasiswanya. Prof. De Waard (dosen di Indonesia) juga melakukan ekspedisi dan melanjutkan studi ke Timor di tahun 1950-an. Penelitian ini dibangun dan diteruskan oleh M.G. Audley-Charles yang mengambil Geologi Timor Leste sebagai topik disertasi S3 nya (tahun 1959-1961) dan A. J. Barber (tahun 1960-1970an) dari University of London, lalu ditelusuri lagi secara besar-besaran (tahun 1970an-1990an) oleh beberapa mahasiswa-mahasiswa bimbingan mereka. Pada tahun-tahun tersebut juga sudah dimulai studi dan kegiatan pemetaan besar-besaran di Timor oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung (sekarang: Pusat Survei Geologi). Hingga kini, sudah semakin banyak berkembang pengetahuan kita mengenai batuan-batuan kompleks ini yang dikontribusikan oleh geologis-geologis dari Australia, Amerika, Eropa, Indonesia, dan negara-negara lainnya yang menggunakan metode/pendekatan yang berbeda sambil membangun dari penelitian-penelitian sebelumnya, namun demikian, masih banyak kesenjangan penelitian yang belum terisi.

Menulis ini saya teringat akan pernyataan para geologis yang pernah bekerja di Timor, mereka selalu meninggalkan kesan bahwa Geologi Timor itu sulit dipelajari. Salah satu geologis Australia menyatakan bahwa; “dibutuhkan seratus setengah tahun, dan sebanyak ratusan geologis untuk memecahkan persoalan daripada orogeni (tumbrukan) daerah Alpine (di Eropa). Persoalan orogeni dan geologi Timor sudah dipelajari selama ±80 tahun, namun mungkin akan membutuhkan waktu yang sama, bahkan lebih lama lagi, untuk mengungkapkan cerita/sejarah orogeni (tubrukan) dari pulau ini.”

 

“Eksplor dan kenalilah daerah di sekitarmu,

karena eksplorasi adalah esensi dari jiwa manusia”

– Adept –

 

Sumber Referensi / Rekomendasi Bacaan

Audley-Charles, M.G., 1965. A Miocene gravity slide deposit from eastern Timor. Geological Magazine102(3), pp.267-276.

Bachri, S. and Permana, A.K., 2017. Tektonostratigrafi Cekungan Timor di bagian barat Pulau Timor. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral16(2), pp.79-91.

Barber, A.J., 2013. The origin of mélanges: Cautionary tales from Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences76, pp.428-438.

Barber, A.J. and Audley-Charles, M.G., 1976. The significance of the metamorphic rocks of Timor in the development of the Banda Arc, eastern Indonesia. Tectonophysics30(1-2), pp.119-128.

Brown, M. and Earle, M.M., 1983. Cordierite‐bearing schists and gneisses from Timor, eastern Indonesia: P‐T conditions of metamorphism and tectonic implications. Journal of Metamorphic Geology1(2), pp.183-203.

Charlton, T.R., 2002. The structural setting and tectonic significance of the Lolotoi, Laclubar and Aileu metamorphic massifs, East Timor. Journal of Asian Earth Sciences20(7), pp.851-865.

Charlton, T.R., Barber, A.J., McGowan, A.J., Nicoll, R.S., Roniewicz, E., Cook, S.E., Barkham, S.T. and Bird, P.R., 2009. The Triassic of Timor: Lithostratigraphy, chronostratigraphy and palaeogeography. Journal of Asian Earth Sciences36(4-5), pp.341-363.

De Waard, D., 1954. Structural development of the crystalline schists in Timor, tectonics of the Lalan Asu massif. Indones. J. Nat. Sci., 110: 143-153.

De Waard, D., 1957b. Zones of regional metamorphism in the Lalan Asu massif, Timor. K. Ned. Akad. Wet., Proc., 60: 383-392.

Earle, M.M., 1981. The metamorphic rocks of Boi, Timor, eastern Indonesia. In: Barber, A.J., Wiryosujono, S. (Eds.), The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia. GRDC Special Publication, vol. 2, pp. 239–251.

Haig, D.W., McCartain, E.W., Keep, M. and Barber, L., 2008. Re-evaluation of the Cablac Limestone at its type area, East Timor: Revision of the Miocene stratigraphy of Timor. Journal of Asian Earth Sciences33(5-6), pp.366-378.

Hamilton, W.B., 1979. Tectonics of the Indonesian region (Vol. 1078). US Government Printing Office.

Harris, R., 2011. The nature of the Banda Arc–continent collision in the Timor region. In Arc-continent collision (pp. 163-211). Springer, Berlin, Heidelberg.

Harris, R., 2006. Rise and fall of the Eastern Great Indonesian arc recorded by the assembly, dispersion and accretion of the Banda Terrane, Timor. Gondwana Research10(3-4), pp.207-231.

Jacobson, M.I., and Sani, K., 1993, IPA Post-convention field trip West Timor, N.T.T., guidebook, Exploration Dept., Amoseas Indonesia Inc.

Kaneko, Y., Maruyama, S., Kadarusman, A., Ota, T., Ishikawa, M., Tsujimori, T., Ishikawa, A. and Okamoto, K., 2007. On-going orogeny in the outer-arc of the Timor–Tanimbar region, eastern Indonesia. Gondwana Research11(1-2), pp.218-233.

Keep, M., Barber, L. and Haig, D., 2009. Deformation of the Cablac Mountain Range, East Timor: An overthrust stack derived from an Australian continental terrace. Journal of Asian Earth Sciences35(2), pp.150-166.

Lelono, E.B., Bohemi, P., Bachtiar, A., Suandhi, P., Utomo, B.H., Ibadurrahman, H., Arifai, M., Yusliandi, A. and Lesmana, Z., 2016. Paleozoic Lacustrine Sediment at West Timor and Tectonic Implication for Timor Island, New Exploration Concept of Hydrocarbon.

Pownall, J.M., Hall, R. and Lister, G.S., 2016. Rolling open Earth’s deepest forearc basin. Geology44(11), pp.947-950.

Rosidi, H.M.D., Tjokrosapoetro, S. and Gafoer, S., 1979. Geological Map of the Kupang-Atambua Quadrangles, Timor. Indonesia, Geological Research and Development Centre.

Satyana, A.H. and Purwaningsih, E.M., 2012, New Look at the Origin of the Sumba Terrane: Multidisiplinary Approaches. Berita Sedimentologi, Indonesian Journal of Sedimentary Geology, Number 25 11/2012 (pp. 26-34).

Standley, C.E. and Harris, R., 2009. Tectonic evolution of forearc nappes of the active Banda arc-continent collision: Origin, age, metamorphic history and structure of the Lolotoi Complex, East Timor. Tectonophysics479(1-2), pp.66-94.

Tate, G.W., McQuarrie, N., Tiranda, H., van Hinsbergen, D.J., Harris, R., Zachariasse, W.J., Fellin, M.G., Reiners, P.W. and Willett, S.D., 2017. Reconciling regional continuity with local variability in structure, uplift and exhumation of the Timor orogen. Gondwana Research49, pp.364-386.

 

Sumber lain:

Softpedia News (2010), Origins of the Banda Arc Explained.

(https://news.softpedia.com/news/Origins-of-the-Banda-Arc-Explained-151114.shtml)

University of Royal Holloway London (2010). “Indonesia’s puzzling Banda arc: New findings explain mystery behind geological development”.

(https://www.sciencedaily.com/releases/2010/07/100726144011.htm)

https://en.wikipedia.org/wiki/Banda_Arc

https://www.encyclopedia.com/science/dictionaries-thesauruses-pictures-and-press-releases/brouwer-hendrik-albertus

https://en.wikipedia.org/wiki/Reinout_Willem_van_Bemmelen

https://en.wikipedia.org/wiki/Gustaaf_Adolf_Frederik_Molengraaff

 

 

Kajian Geologi Lingkungan terhadap Penetapan Calon Lokasi TPA Sampah (sebuah kasus di Kabupaten Kupang – TPA Pitay)

A. PENDAHULUAN

Perencanaan tataguna lahan suatu daerah pada hakekatnya adalah pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu peruntukan tertentu. Permasalahan yang mungkin timbul dalam menetapkan peruntukan suatu lahan adalah faktor kesesuaian lahannya, dan pada dasarnya kesesuaian suatu lahan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan fisiknya. Oleh karena itu dalam perencanaannya, lingkungan alamiah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan sudah menjadi pengetahuan bagi para perencana (Noor, 2011).

Sebagaimana diketahui bahwa manusia di suatu sisi memerlukan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan di sisi lain manusia menginginkan agar lingkungan dimana dia tinggal tidak tercemar oleh polusi air, udara, maupun suara. Berabad-abad yang lalu, banyak Raja Inggris melarang pembakaran batubara di London karena polusi udara sangat mencekik dan hukumam bagi para pelanggar adalah eksekusi mati (Montgomery, 2003). Hukuman bagi para pelanggar aturan lingkungan sekarang di Indonesia lebih sering berupa hukuman finansial daripada fisik, dan bahkan tidak dihukum sama sekali.

Beberapa pencemaran kimiawi terhadap lingkungan dapat terjadi secara alamiah, dengan atau tanpa aktivitas manusia; contohnya rembesan minyak bumi. Tetapi kebanyakan berupa hasil dari pembuangan sampah/limbah yang sembarangan atau kurangnya upaya dalam hal pembuangan sampah/limbah. Masyarakat berkonsumen teknologi tinggi pada zaman ini juga cenderung untuk menyebabkan sampah/limbah dalam jumlah yang banyak. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 122 tempat sampah seluas Gelora Bung Karno (GBK) setiap tahun untuk menampung sampah yang tidak terangkut. Volume sampah yang diproduksi di Indonesia berjumlah sekitar 1 juta meter kubik setiap hari, namun baru 42% di antaranya yang terangkut dan diolah dengan baik. Jadi, sampah yang tidak diangkut setiap harinya berjumlah sekitar 300.000 ton (Harian Umum Sore Suara Pembaruan, 26/06/2012). Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan sampah yaitu dengan membangun Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah di setiap daerah. Sebab sarana yang terpenting dalam hal pengolahan sampah ialah TPA sampah.

Penentuan lokasi Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah di daerah Nusa Tenggara Timur sering menuai masalah. Selain daripada masalah politik dan polemik kepemilikan lahan, rencana pembangunan TPA dinilai sangat merugikan kesehatan masyarakat dan lingkungan karena tidak berbasis geologi lingungan. Contoh permasalahan lingkungan dalam hal rencana pembangunan TPA terdapat di Nonohonis Kecamatan Kota Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan, dimana para akademisi menyatakan bahwa pembangunan harus dihentikan karena akan mencemari lingkungan dan penduduk sekitar sebab rencana pembangunan tersebut tidak melalui kajian amdal, kajian tata ruang dan studi perbandingan (Victory News, 23/04/2013). Permasalahan serupa juga terdapat di daerah Lengkong Anak Munting Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat, dimana rencana pembangunan TPA di daerah tersebut ditolak oleh warga sebab tokoh agama dan tokoh masyarakat menilai bahwa daerah Lengkong Anak Munting berada dekat gereja dan sekolah, dan juga daerah tersebut merupakan daerah resapan air, sehingga dapat menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar (Victory News, 10/07/2013). Demikian juga penempatan TPA Alak di Kecamatan Alak Kota Kupang yang sudah dioperasikan sejak tahun 1998 tidak berbasis geologi sebab basement atau litologi lokasi TPA tersebut merupakan batugamping. Parameter-parameter yang digunakan dalam menentukan cluster tata ruang ini tidak berbasis geologi, sehingga dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.

BLOG - KAJIAN GEOLOGI LINGKUNGAN

Situasi yang dapat terjadi jika penempatan lokasi TPA sampah tidak sesuai dengan kajian Geologi Lingkungan yakni berupa infiltrasi dan berujung pada pencemaran air tanah yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat sekitar.

Dengan melihat berbagai kondisi dan permasalahan di atas, maka rencana penempatan lokasi pembangunan TPA sampah membutuhkan sebuah kajian geologi lingkungan, sehingga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Kajian ini menekankan pada aspek geologi lingkungan seperti; morfologi/relief, sifat fisik tanah dan batuan, tatanan air tanah dan bahaya geologi, keberadaan sumberdaya geologi dan memberikan pengorganisasian keleluasaan serta desain tata letak sarana utama dan sarana penunjang ditinjau dari sudut pandang geologi lingkungan.

Kabupaten Kupang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dimana sejak dibentuk tahun 1958 ibukota Kabupaten Kupang berkedudukan di Kupang sampai dengan tahun 2006, yang kemudian sesuai dengan PP Nomor 3 tahun 2006 ibukota Kabupaten Kupang dipindahkan ke Oelamasi, Kecamatan Kupang Timur. Sehubungan dengan adanya sebuah area perkotaan yang baru, tentunya jumlah produksi sampah akan semakin meningkat. Oleh karena itu dibutuhkan TPA sampah di daerah Kabupaten Kupang yang hingga saat ini belum memiliki TPA sampah, sebab sebagian besar penduduk Kabupaten Kupang sudah biasa memusnahkan sampah dengan cara mengubur atau membakar sampah disekitar rumah mereka.

Lokasi Kabupaten Kupang

Daerah Kabupaten Kupang

Satu-satunya TPA Sampah yang sudah ada dan yang terdekat dengan wilayah Kabupaten Kupang adalah TPA Sampah Alak di Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Namun dengan semakin meningkatnya jumlah sampah yang masuk ke TPA Sampah Alak, maka dalam beberapa tahun ke depan TPA Sampah Alak tidak dapat lagi mampu menampung sampah Kota Kupang. Kondisi ini merupakan salah satu alasan perlunya pembangunan TPA sampah baru sebagai pengganti TPA yang sudah ada saat ini. Perlunya pembangunan baru sebagai pengganti TPA Alak telah tertuang dalam visi dan misi Pemerintahan Kota Kupang dalam bidang pengelolaan persampahan. Namun dengan keterbatasan lahan yang ada di Kota Kupang, salah satu alternatif yang dapat diambil adalah melaksanakan kerjasama pengelolaan sampah regional dengan kota/kabupaten terdekat dalam hal ini Pemerintahan Kabupaten Kupang, yang masih mempunyai potensi lahan untuk dibangun TPA baru.

Kiri atas: Keadaan lokasi TPA Sampah Alak - Kota Kupang Kanan atas: tampak ternak sapi milik warga yang berkeliaraan bebas di lokasi TPA Alak Bawah: Quarry penambangan batugamping yang berjarak hanya 10 meter dari lokasi TPA Alak

Kiri atas: Keadaan lokasi TPA Sampah Alak – Kota Kupang
Kanan atas: tampak ternak sapi milik warga yang berkeliaraan bebas di lokasi TPA Alak
Bawah: Quarry penambangan batugamping yang berjarak hanya 10 meter dari lokasi TPA Alak

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kupang tahun 2010 – 2030 dan berdasarkan Laporan Perencanaan Penyiapan TPA Regional Kota Kupang dan Kabupaten Kupang oleh Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka telah ditetapkan daerah Pitay – Kecamatan Sulamu sebagai daerah yang akan dijadikan sebagai lokasi Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Regional. Penetapan lokasi ini merupakan hasil evaluasi berskala regional berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA yang ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (PU). Oleh karena itu, daerah Pitay inilah yang akan menjadi objek lokasi observasi, yaitu untuk mengkaji lokasi ini dengan skala lokal sesuai dengan aspek geologi lingkungan serta menyatakan kelayakan/ketidaklayakan lokasinya sebagai Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi parameter penilaian aspek geologi lingkungan yang mengontrol calon lokasi pengolahan sampah di daerah Kabupaten Kupang; mengidentifikasi dan mengevaluasi parameter penyisih aspek geologi lingkungan yang merupakan daerah tidak layak untuk lokasi pembuangan dan pengolahan sampah; menentukan arahan lokasi yang sesuai dengan kajian geologi lingkungan sebagai lokasi pembuangan dan pengolahan sampah; serta menentukan nilai dan kelas lahan lokasi terpilih TPA sampah.

B. DASAR TEORI

1. Geologi Lingkungan

Geologi adalah suatu ilmu yang mempelajari susunan, bentuk, sejarah perkembangan bumi dan makhluk yang pernah hidup di dalam dan di atas bumi, serta proses-proses yang telah, sedang dan akan bekerja di bumi. Adapun lingkungan secara umum dapat diartikan sebagai hubungan antara suatu obyek dengan sekitarnya. Hubungan antara suatu obyek dengan sekitarnya dapat bersifat aktif maupun pasif, dinamis ataupun statis. Dengan demikian geologi lingkungan dapat dianalogikan bahwa bumi sebagai suatu obyek yang dipengaruhi oleh lingkungannya, termasuk di dalamnya adalah manusia sebagai salah satu unsur yang mempengaruhinya.

Geologi lingkungan pada hakekatnya merupakan ilmu geologi terapan yang ditujukan sebagai upaya memanfaatkan sumberdaya alam dan energi secara efisien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan perikehidupan manusia masa kini dan masa mendatang dengan seminimal mungkin mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkannya (Noor, 2006). Dengan kata lain geologi lingkungan dapat diartikan sebagai penerapan informasi geologi dalam pembangunan terutama untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk meminimalkan degradasi lingkungan sebagai akibat perubahan-perubahan yang terjadi dari pemanfaatan sumberdaya alam.

Ruang Lingkup Geologi Lingkungan

Ruang lingkup geologi lingkungan difokuskan pada kajian mengenai peran ilmu geologi dalam pengembangan dan perencanaan wilayah dan lingkungan serta aspek-aspek geologi yang berkaitan dengan kebutuhan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bumi bagi kehidupan manusia. Ruang lingkup geologi lingkungan mencakup sebagai berikut:

1. Geologi dan permasalahan lingkungan

Pada dasarnya antara ilmu geologi dengan masalah lingkungan sangat erat hubungannya, karena semua aktivitas dan proses yang terjadi di muka bumi merupakan obyek dan subyek dari ilmu geologi. Permasalahan lingkungan yang timbul sebagai akibat eksploitasi sumberdaya alam telah berakibat pada rusaknya beberapa wilayah di muka bumi. Beberapa contoh kasus yang menimbulkan degradasi lingkungan adalah eksploitasi sumberdaya hutan telah berdampak pada rusaknya hidrologi air tanah, struktur tanah dan ekologi hutan tropis dan eksploitasi sumberdaya mineral yang merusak struktur tanah terutama di lokasi-lokasi penambangan. Konsentrasi dan aktivitas manusia di suatu wilayah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

contoh kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penambangan mangaan di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur

Contoh kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penambangan mangaan di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur

2. Proses-proses Geologi dan perubahan bentangalam

Proses-proses geologi adalah semua aktivitas yang terjadi di bumi baik yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun yang berasal dari luar bumi (eksogen). Gaya endogen maupun eksogen merupakan gaya-gaya yang memberi andil terhadap perubahan bentuk bentangalam (landscape) yang ada di permukaan bumi.

proses-proses geologi (endogen dan eksogen) sebagai agen dalam perubahan bentuk bentangalam.

proses-proses geologi (endogen dan eksogen) sebagai agen dalam perubahan bentuk bentangalam.

3. Sumberdaya geologi

Sumberdaya alam adalah semua sumberdaya, baik yang bersifat terbarukan (renewable resources) maupun sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable recources). Sumberdaya yang tidak terbarukan dalam ilmu geologi disebut sebagai sumberdaya geologi, dimana terdiri dari sumberdaya air, sumberdaya mineral, sumberdaya energi, dan sumberdaya lahan.

Mangan di Timor merupakan salah satu contoh dari sumberdaya geologi

Mangan di Timor
merupakan salah satu contoh sumberdaya geologi

4. Bahaya geologi

Proses-proses geologi baik yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun dari luar bumi (eksogen) dapat menimbulkan bahaya bahkan bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya yang ditimbulkan oleh proses-proses geologi disebut dengan bencana geologi (geological hazards). Tanah longsor, erupsi gunung api, gempa bumi, banjir, erosi, salinasi, dan kekeringan adalah beberapa contoh dari proses geologi yang dapat berdampak pada aktivitas manusia di berbagai wilayah di muka bumi.

Longsor di Ikan Foti – Kab. Kupang merupakan salah satu contoh bahaya geologi

5. Perencanaan tata guna lahan berwawasan lingkungan

Perencanaan tataguna lahan pada hakekatnya adalah pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu peruntukan tertentu. Permasalahan yang mungkin timbul dalam perencanaan suatu lahan adalah masalah kesesuaian/kecocokan lahan terhadap suatu peruntukan tertentu. Pada dasarnya kesesuaian suatu lahan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungannya, seperti faktor kelerengan, iklim, jenis tanah dan batuan, tutupan lahan, satwa liar, hidrologi, dan lain sebagainya.

6. Geologi dan perencanaan tataguna lahan

Pada dasarnya peruntukan lahan ditetapkan melalui berbagai kajian, baik kajian dari kondisi fisik lahan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya serta ditetapkan melalui proses politik dalam suatu keputusan pemerintah. Di dalam proses perencanaan tataguna lahan, geologi mempunyai peran yang sangat penting baik dalam proses perencanaan tataguna lahan untuk sektor swasta maupun sektor publik, hal ini disebabkan karena dalam proses perencanaan tataguna lahan pertimbangan mengenai kondisi geologi atau keberadaan bahaya geologi harus menjadi bahan pertimbangan di dalam penentuan tataguna lahan.

7. Pengelolaan limbah padat

Degradasi lingkungan yang disebabkan oleh limbah yang berasal dari hasil eksploitasi sumberdaya alam maupun limbah yang berasal dari industri berat, manufaktur, agro industri, dan rumah tangga telah menjadi suatu permasalahan tersendiri dan perlu dikelola dan ditangani secara benar sehingga tidak berdampak pada pencemaran lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa manusia memerlukan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan di sisi lain manusia menginginkan agar lingkungan dimana dia tinggal tidak tercemar oleh polusi air, udara, maupun suara.

Aplikasi Kajian Geologi Lingkungan

Geologi Lingkungan sebagai ilmu yang mempelajari bumi, mempunyai peranan penting di dalam perencanaan tataguna lahan, yang kajian utamanya adalah membahas karakteristik fisik lingkungan peruntukan lahan yang meliputi aspek-aspek geologi lingkungan. Geologi Tata Lingkungan merupakan media dalam penerapan informasi geologi melalui penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah dan pengelolaan lingkungan, yaitu memberikan informasi tentang karakteristik lingkungan geologi suatu lokasi/wilayah berdasarkan keterpaduan dari aspek sumber daya geologi sebagai faktor pendukung dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala. Selanjutnya hasil kajian geologi lingkungan menggambarkan tingkat keleluasaan suatu wilayah untuk dikembangkan.

Penyusunan informasi Geologi Lingkungan dilakukan dengan menggabungkan informasi dari peta tematik geologi maupun peta non-geologi. Informasi geologi lingkungan dapat membantu mengatasi permasalahan lingkungan dan upaya pengelolaannya melalui rekomendasi penggunaan lahan dan juga menyediakan alternatif pemecahan permasalahannya. Analisis geologi lingkungan menggunakan metode pembobotan/skoring secara kuantitatif dan penilaian para ahli ditumpang susun (overlay) dari peta-peta tematik secara manual maupun dengan Sistem Informasi Geografi (SIG).

2. Parameter-parameter penentuan lokasi TPA sampah

Penelitian mengenai penentuan lokasi TPA sampah diawali dengan penetapan kriteria pemilihan TPA sampah berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Cara Pemilihan Lokasi Tempah Pembuangan Akhir Sampah serta disesuaikan dengan ruang lingkup geologi lingkungan. Tata cara ini menetapkan 14 kriteria pemilihan lokasi TPA sampah, yang dikelompokan dalam dua kategori kelayakan regional, yaitu (a) parameter kriteria penilaian, meliputi; batuan, muka air tanah, kemiringan lereng, dan curah hujan, (b) parameter kriteria penyisih, meliputi; jarak terhadap sesar, kerentanan terhadap gerakan tanah, kerentanan terhadap banjir, jarak terhadap sungai dan danau, jarak terhadap garis pantai, daerah lindung, jarak terhadap pemukiman, jarak terhadap jalan raya, jarak terhadap bandara, dan daerah potensi sumberdaya geologi.

Dalam analisis kelayakan regional, parameter yang dipertimbangkan dalam penilaian kelayakan lahan TPA sampah mencakup parameter geologi. Beberapa parameter diberi nilai kelas sesuai dengan tingkat kelayakannya dan diberi nilai kepentingannya dan kemudian diberi pembobotan. Parameter lainnya merupakan pembatas atau buffer yang dinyatakan daerah tidak layak. Setiap parameter ditampilkan dalam peta tematik digital. Peta-peta tematik ini kemudian digabungkan dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis. Nilai bobot kemudian dijumlahkan, dan dari rentang jumlah bobot kemudian ditentukan tingkat kelayakannya yaitu layak tinggi, layak sedang, layak rendah dan tidak layak.

3. TPA Sampah

Pengertian Sampah

Secara umum sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses seperti kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam. Penghasil sampah adalah setiap orang atau akibat proses alam yang menghasilkan sampah. Hampir semua sampah bisa didaur ulang baik untuk pupuk atau lainnya. Sampah diklasifikasikan lagi menjadi dua yaitu sampah padat (segala bahan buangan selain kotoran manusia/urine) dan sampah cair. Sampah dapat bersumber dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, seperti; sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain-lain. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya dalam industri pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dimana jumlah sampah diperkirakan sama dengan jumlah konsumsi. Jenis-jenis sampah dapat dibedakan sebagai berikut:

Jenis sampah berdasarkan sumbernya

a. Sampah alam

Sampah yang diproduksi di alam mengalami proses daur ulang alami, misalnya daun-daun kering di hutan yang terurai menjadi tanah.

b. Sampah manusia

Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa digunakan untuk sampah dari hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses dan urine.

c. Sampah konsumsi

Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh manusia pada saat menggunakan barang. Dengan kata lain sampah konsumsi adalah sampah-sampah yang dibuang ke tempat sampah.

d. Sampah nuklir/radioaktif

Sampah nuklir adalah zat radioaktif yang sudah tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan.

e. Sampah industri

Sampah industri adalah sampah yang berasal dari seluruh rangkaian proses produksi bahan-bahan kimia, serpihan/potongan bahan untuk membuat kertas, kayu, plastik, kain yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan.

f. Sampah pertambangan

Sampah pertambangan berasal dari daerah pertambangan dan jenisnya tergantung pada jenis usaha pertambangan itu, misalnya batubara, tanah cadas, pasir, sisa-sisa pembakaran (arang), dan lain-lain.

Jenis sampah berdasarkan sifatnya

  1. Sampah organik/dapat diurai (degradable), yaitu sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daunan kering, dan sebagainya.
  2. Sampah anorganik tidak terurai (undegradable), yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik, mainan, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu dan sebagainya.

Jenis sampah berdasarkan bentuknya

a. Sampah padat

Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia, urine, dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga misalnya sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas, dan lain-lain.

b. Sampah cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan kembali dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.

Metode Pengolahan Sampah

Ada beberapa metode dalam proses pengolahan sampah menurut Montgomery (Environmental Geology, 2003) yaitu dengan memakai metode Open Dumps, metode Sanitary Landfills (pengurukan), Incineration (insinerasi), dan Ocean Dumping (membuang ke dasar laut) dan salah satu upaya mereduksi volume sampah yaitu dengan proses pendauran ulang (recycle).

A. Open Dumps

Metode yang sudah ditetapkan sejak dulu untuk pengolahan sampah yang menuntut usaha dan biaya yang minimum ialah Open Dumps. Cara ini cukup sederhana yaitu dengan membuang sampah pada suatu legokan atau cekungan tanpa mengunakan tanah sebagai penutup sampah. Cara ini sudah tidak direkomendasi lagi oleh Pemerintah RI karena tidak memenuhi syarat teknis suatu TPA Sampah. Open Dumps tidak sedap dipandang, tidak bersanitasi, dan pada umumnya berbau; mengundang tikus, serangga, dan hama lainnya, dan sangat berpotensi terjadinya kebakaran. Air permukaan yang menapis melalui sampah dapat melarut, atau leach (air lindi), zat-zat kimiawi yang berbahaya dapat terbawa dari lokasi pembuangan ke aliran sungai permukaan atau meresap ke dalam air tanah. Sampah-sampah di lokasi Open Dumps dapat juga berserakan akibat angin dan air, dan beberapa gas yang naik dari tempat pembuangan dapat berupa racun. Pada metode Open Dump limbah ditumpuk sedikit demi sedikit untuk mengendalikan polusi atau estetika. Limbah ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak tersentuh atau dengan cara dibakar. Jenis pengolahan limbah secara Open Dump dapat menjadi sumber polusi kesehatan, bencana dan degradasi lingkungan.

TPA sampah Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, yang menggunakan metode Open Dump

TPA sampah Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, yang menggunakan metode Open Dump

B. Sanitary Landfills (pengurukan)

Sanitary Landfill adalah suatu metode pengolahan dan penempatan bahan limbah diatas tanah dengan cara mengemasnya menjadi bagian-bagian kecil yang kemudian ditutup dengan suatu lapisan tanah penutup. Pemadatan dan penutupan lapisan tanah dilakukan dengan menggunakan bulldozer atau alat-alat berat. Limbah padat ditempatkan pada tempat yang telah disediakan kemudian dipadatkan atau dibakar agar supaya volume limbahnya menjadi kecil sehingga lokasi pembuangan limbah bisa berumur lebih panjang. Keuntungan metoda ini adalah bekas lokasi tempat pengolahan limbah yang telah ditutup dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Contohnya bekas TPA sampah yang menggunakan metoda pengolahan sanitary landfill yaitu di Kota Evanston, Illinois, Amerika Serikat, dimana pada tahun 1965 telah dibangunnya area ski “Mount Trashmore” diatas tutupan lapisan tanah pengurukan sampah.

skema sanitary landfill

skema sanitary landfill

area ski Mt Trashmore di Evanston, Amerika Serikat, yang dulu merupakan dump station

area ski Mt Trashmore di Evanston, Amerika Serikat, yang dulu merupakan dump station

C. Incineration (insinerasi)

Insinerasi atau pembakaran sampah (incineration) adalah teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Insinerasi dan pengolahan sampah bertemperatur tinggi lainnya didefinisikan sebagai pengolahan termal. Insinerasi material sampah mengubah sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke atmosfer. Panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik.

Insinerator mengurangi volume sampah hingga 95-96%, tergantung komposisi dan derajat recovery sampah. Ini berarti insinerasi tidak sepenuhnya mengganti penggunaan lahan sebagai area pembuangan akhir, tetapi insinerasi mengurangi volume sampah yang dibuang dalam jumlah yang signifikan.

Insinerasi memiliki banyak manfaat untuk mengolah berbagai jenis sampah seperti sampah medis dan beberapa jenis sampah berbahaya di mana patogen dan racun kimia bisa hancur dengan temperatur tinggi. Insinerasi sangat populer di beberapa negara seperti Jepang di mana lahan merupakan sumber daya yang sangat langka. Denmark dan Swedia telah menjadi pionir dalam menggunakan panas dari insinerasi untuk menghasilkan energi. Pada tahun 2005, insinerasi sampah menghasilkan 4,8% energi listrik dan 13,7% panas yang dikonsumsi negara itu. Beberapa negara lain di Eropa yang mengandalkan insinerasi sebagai pengolahan sampah adalah Luksemburg, Belanda, Jerman, dan Prancis.

SYSAV pabrik incineration di Malmö, Sweden

SYSAV pabrik incineration di Malmö, Sweden

D. Ocean Dumping (Membuang ke dasar laut) 

Sebuah metode yang berbeda dengan insinerasi darat, yang dikembangkan selama dua dasawarsa terakhir adalah insinerasi di laut terbuka. Setelah pembakaran, bahan yang tidak terbakar hanya dibuang di laut. Metode ini telah diterapkan untuk timbunan limbah kimia yang sangat berbahaya. Sebuah laporan Badan Perlindungan Lingkungan di Amerika Serikat pada tahun 1981 menjelaskan teknik ini sebagai sesuatu yang “menjanjikan” untuk berbagai alasan, dan membuat pernyataan bahwa “ia memiliki dampak minimal pada lingkungan dengan memindahkan lokasi pembuangan jauh dari daerah-daerah berpopulasi sehingga emisi diserap oleh lautan,” dan mencatat bahwa insinerator lepas pantai tersebut yang “tidak dirugikan oleh persyaratan kontrol yang berbasis lahan per unit” bisa juga sangat hemat biaya. Keinginan metode ini jelas tergantung pada satu sudut pandang. Tidak masalah jika karbon dioksida akan ditambahkan ke udara di atas tanah atau di atas air, tetapi masih memberikan kontribusi terhadap meningkatnya kadar karbon dioksida di atmosfer. Benar bahwa  membuang residu padat di laut dapat menempatkannya keluar dari pandangan orang, tetapi jika bahan-bahan beracun hadir dan dibiarkan tidak terbakar, hal tersebut dapat berkontribusi pada pencemaran lautan dimana sekarang dunia ternyata semakin menggunakannya sebagai sumber konsumsi.

E. Recycling (Mendaur ulang)

Walaupun sudah disediakan tempat pembuangan akhir untuk menimbun limbah (sampah) padat yang dihasilkan oleh warga kota, namun karena limbah yang dihasilkan terus bertambah maka tempat pembuangan akhir (TPA) makin meluas. Dengan bertambah luasnya tempat pembuangan akhir berarti akan makin mengurangi luas daratan yang dapat dimanfaatkan untuk daerah pemukiman, daerah industri, daerah pertanian dan lain-lainnya. Mengingat akan hal ini maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah padat dengan memanfaatkan kembali limbah padat tersebut untuk kepentingan manusia melalui proses daur ulang limbah (bahan buangan) padat, sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi pencemaran daratan.

Limbah padat dan pemanfaatannya kembali

Limbah Pemanfaatannya kembali (daur ulang)
Kertas
  • Dibuat bubur pulp untuk bahan kertas
  • Dihancurkan untuk dipakai sebagai bahan pengisi, bahan isolasi
  • Dinsenerasi sebagai penghasil panas
Bahan Organik
  • Dibuat kompos untuk pupuk tanaman
  • Diinsenerasi sebagai penghasil panas
Tekstil/pakaian (bekas)
  • Dihancurkan untuk dipakai sebagai bahan pengisi, bahan isolasi
  • Diinsenerasi sebagai penghasil panas
  • Disumbangkan kepada yang memerlukan
Gelas
  • Dibersihkan dan dipakai lagi (botol)
  • Dihancurkan untuk digunakan lagi sebagai bahan pembuat gelas baru
  • Dihancurkan dan dicampur aspal untuk pengeras jalan
  • Dihancurkan dan dicampur pasir dan batu untuk pembuatan bata semen
Logam
  • Dicor untuk pembuatan logam baru yang dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan
  • Langsung digunakan lagi bila keadaannya masih baik dan memungkinkan
Karet, kulit dan plastik
  • Dihancurkan untuk dipakai sebagai bahan pengisi, isolasi
  • Diinsenerasi sebagai penghasil panas

Sumber: Dampak Pencemaran Lingkungan (Wardhana, 2004)

C. PENCEMARAN TPA SAMPAH

Timbunan sampah pada daerah TPA dapat mengganggu/mencemari karena dapat menyebabkan lindi (air sampah), bau dan merusak keindahan. Timbunan sampah juga menutupi permukaan tanah sehingga tanah tidak bisa dimanfaatkan. Timbunan sampah bisa menghasilkan gas nitrogen, asam sulfida, logam, raksa, krom, dan arsen. Pada timbunan sampah bisa timbul pencemaran tanah/gangguan terhadap mikroorganisme tanah, tumbuhan serta merusak struktur permukaan dan tekstur tanah. Limbah lainnya adalah oksida logam, baik yang terlarut maupun tidak menjadi racun di permukaan tanah.

Lapisan tanah tidak dapat ditembus oleh akar tanaman dan tidak tembus air adalah sampah anorganik yang tidak terurai, sehingga peresapan air dan mineral yang dapat menyuburkan tanah hilang dan jumlah mikroorganisme di dalam tanah pun akan berkurang. Tinja (feses), detergen, oli bekas, dan cat merupakan limbah cair rumah tangga. Peresapannya ke dalam tanah akan merusak kandungan air tanah dan zat kimia yang terkandung di dalamnya, dapat membunuh mikroorganisme yang hidup di dalam tanah.

Pencemaran TPA sampah berdampak secara tidak langsung yaitu akan menjadi pusat berkembang-biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia dan juga lalat dan nyamuk. Baik tikus, lalat dan nyamuk adalah binatang yang dapat menimbulkan penyakit menular bagi manusia. Penyakit menular yang ditimbulkan dengan perantaraan tikus, lalat dan nyamuk adalah penyakit pest, kaki gajah (filariasis), malaria dan demam berdarah.

Environment-Quotes-Graphics-10

Untuk mendownload Jurnal dengan judul “KAJIAN GEOLOGI LINGKUNGAN TERHADAP PENETAPAN CALON LOKASI TPA SAMPAH PITAY – KECAMATAN SULAMU, KABUPATEN KUPANG, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR”, Silahkan Klik Disini

Untuk mendapatkan full skripsi silahkan hubungi penulis di adept@kupang.org

“The beauty of nature gives me that pleasant feeling which I wouldn’t find anywhere else

Please, show that you care…. I do” 

Adept Titu Eki